Duta Hukum https://journal.univgresik.ac.id/index.php/dutahukum <p>Jurnal penelitian bidang hukum fakultas hukum universitas Gresik adalah wadah publikasi online skripsi Mahasiswa dan Dosen khusus keilmuwan di bidang hukum</p> <p>1. Hukum Tata Negara</p> <p>2. Hukum Pidana</p> <p>3. Hukum Perdata</p> <p>4. Hukum Administrasi Negara</p> <p>5. Hukum Pajak</p> <p>6. Hukum Perbankan dan yang lainya.</p> Fakultas Hukum Universitas Gresik en-US Duta Hukum KEDUDUKAN BAPAK BIOLOGIS TERHADAP ANAK HASIL PERKAWINAN DI LUAR NIKAH SAMA SEPERTI ANAK KANDUNG https://journal.univgresik.ac.id/index.php/dutahukum/article/view/239 <p>Dalam Buku I, Bab IV KUHPerdata tentang Perkawinan telah dicabut dan dibentuk Undang-Undang Perkawinan yang menyatakan Pasal 43 ayat (1) bahwa anak luar kawin hanya memiliki hubungan keperdataan dengan ibunya, di sini tidak ada kejelasan Undang-Undang manakah yang akan diberlakukan atau yang mengatur tentang anak luar kawin. Penulis mengangkat dua permasalahan. yaitu: 1) Apakah kedudukan bapak biologis terhadap anak hasil perkawinan di luar nikah sama seperti anak kandung setelah putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010 dan berdasarkan Kompilasi Hukum Islam; dan 2) Bagaimana status kewarisan terhadap anak diluar kawin setelah putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010 dan berdasarkan Kompilasi Hukum Islam. Metode penelitian hukum normatif dengan tiga metode pendekatan antara lain pendekatan konseptual, pendekatan perundang-undangan, dan pendekatan historis. Disimpulkan bahwa ketentuan Pasal 43 ayat (1), yaitu bahwa anak yang dilahirkan diluar perkawinan mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya serta dengan laki-laki sebagai ayahnya yang dapat dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi dan/atau alat bukti lain menurut hukum mempunyai hubungan darah, termasuk hubungan perdata dengan keluarga ayahnya. Namun di dalam kompilasi hukum Islam sendiri anak luar kawin tidak mempunyai hubungan nasab dengan ayah biologisnya. Pasal 43 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, lebih lanjut menjelaskan bahwa anak yang dilahirkan di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibu</p> <p>&nbsp;</p> <p><strong>Kata </strong><strong>K</strong><strong>unci: </strong>Kedudukan; Bapak Biologis; Diluar Nikah.</p> Sampurno Nasichin, S.H., M.H Copyright (c) 2024 Duta Hukum 2025-01-08 2025-01-08 1 2 53 63 KETENTUAN PIDANA PENGGUNAAN DOPING ZAT TERLARANG BAGI ATLET DALAM PERTANDINGAN OLAHRAGA NASIONAL https://journal.univgresik.ac.id/index.php/dutahukum/article/view/250 <p>Adapun alasan pelaranggan doping dalam olahraga meliputi: pertama, alasan etis. Penggunaan doping melanggar</p> <p>norma fair play dan sportivitas yang merupakan jiwa olahraga. Kedua, Alasan medis karena membahayakan</p> <p>keselamatan pemakainya. Atlet akan mengalami habituation (kebiasaan) dan addiction (ketagihan) serta drugs abuse</p> <p>(ketergantungan obat) yang dapat membahayakan jiwa. Selain itu juga dapat menyebabkan kematian. Penulis</p> <p>mengangkat dua permasalahan. yaitu: 1). Apakah atlet/olahragawan pengguna doping zat terlarang dapat</p> <p>dikategorikan melakukan tindak pidana narkotika; dan 2) Bagaimana tanggungjawab atlet/olahragawan pengguna</p> <p>doping zat terlarang tersebut. Metode penelitian hukum normatif dengan tiga metode pendekatan antara lain</p> <p>pendekatan konseptual (conceptual approach), pendekatan perundang-undangan (statute approach), dan pendekatan</p> <p>kasus (case approach). Hasil Penelitian menunjukkan bahwa pemakaian doping zat terlarang yang digunakan oleh</p> <p>atlet/olahragawan adalah jenis narkotika yang termasuk kedalam narkotika golongan I yang dimana zat tersebut</p> <p>mengandung zat yang mempunyai potensi penggunaannya dapat menimbulkan efek ketergantungan, jelas disebutkan</p> <p>di dalam Undang-Undang Nomor 35 tahun 2009 tentang Narkotika dalam lampiran I tentang Daftar Narkotika</p> <p>Golongan I, II, III, bahwa zat-zat yang terkandung dalam doping merupakan bagian dari suatu zat terlarang didalam</p> <p>penggolongan narkotika.</p> bela sabrina agustina Dwi Copyright (c) 2024 Duta Hukum 2025-01-16 2025-01-16 1 2 80 93 PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP PEKERJA ATAS PEMUTUSAN HUBUNGAN KERJA DENGAN ALASAN EFISIENSI AKIBAT PENGGUNAAN MESIN OTOMATISASI PEKERJAAN BERDASARKAN PASAL 43 AYAT (2) PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 35 TAHUN 2021 TENTANG PERJANJIAN KERJA WAKTU TERTENTU, ALIH DA https://journal.univgresik.ac.id/index.php/dutahukum/article/view/243 <p>Pada era moderen saat ini alasan Pemutusan Hubungan Industrial terjadi karena dampak meningkatnya otomatisasi mesin, dalam hal ini karyawan mengalami PHK karena tergantikannya tenaga manusia oleh teknologi atau robotik., rumusan masalah dalam penelitian ini yaitu : apakah PHK akibat penggunaan otomatisasi mesin dapat dikategorikan sebagai bentuk efisiensi untuk menghindari kerugian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 43 ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 35 Tahun 2021 Tentang Perjanjian Kerja Waktu Tertentu,Alih Daya, Waktu Kerja Dan Waktu Istirahat, Dan Pemutusan Hubungan Kerja. Bagaimana perlindungan hukum terhadap pekerja atas pemutusan hubungan kerja akibat penggunaan otomatisasi mesin.</p> <p>Jenis penelitian ini adalah penelitian normatif, dimana pendekatan terhadap permasalahan dengan mengkaji ketentuan perundangan-undangan, konseptual dan kasus. Hasil penelitian menunjukkan bahwa PHK dengan alasan perusahaan melakukan efisiensi untuk mencegah kerugian terhadap penggunaan otomatisasi mesin perlu dengan pembuktian audit laporan perkembangan perusahaan, dengan perlindungan hukum berupa pemberian uang pesangon, pemberian uang penghargaan atau uang jasa selama masa kerja pekerja/buruh.&nbsp;</p> <p>Saran penulis adalah Perusahaan haruslah bijak dalam melakukan pemutusan hubungan kerja kepada para pekerja dan Pemerintah melalui Menteri Ketenagakerjaan membuat dan menerbitkan aturan turunan terhadap Pasal 43 ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 35 Tahun 2021 Tentang Perjanjian Kerja Waktu Tertentu, Alih Daya, Waktu Kerja Dan Waktu Istirahat, Dan Pemutusan Hubungan Kerja.</p> Faris Satriya basid Copyright (c) 2024 Duta Hukum 2025-01-08 2025-01-08 1 2 64 79 PERTANGGUNGJAWABAN HUKUM PELAKU USAHA ATAS PRAKTEK MONOPOLI DAN PERSAINGAN USAHA TIDAK SEHAT YANG MELAKUKAN JUAL RUGI DITINJAU DARI PASAL 20 UNDANG-UNDANG NOMOR 5 TAHUN 1999 TENTANG LARANGAN PRAKTEK MONOPOLI DAN PERSAINGAN USAHA TIDAK SEHAT https://journal.univgresik.ac.id/index.php/dutahukum/article/view/248 <p>Peraturan Komisi Pengawas Persaingan Usaha Nomor 6 Tahun 2011 tentang Pedoman Pelaksanaan Pasal 20 (Jual Rugi) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat bertujuan untuk memberikan tujuan yang jelas dan spesifik mengenai jual beli, serta menjelaskan hal-hal yang dapat dikualifikasikan sebagai potensi pelanggaran larangan jual beli., rumusan masalah penelitian ini adalah : Bagaimana batasan penetapan harga sehingga tidak dikatakan melakukan praktek jual rugi dan Bagaimana pertanggungjawaban hukum pelaku usaha apabila terbukti melakukan praktek jual rugi.</p> <p>Jenis penelitian ini adalah penelitian normatif, dimana pendekatan terhadap permasalahan dengan mengkaji ketentuan perundangan-undangan, konseptual dan kasus. Kesimpulan yang didapat yaitu Bahwa adanya pelaku usaha yang menjual semen dengan harga rugi dipengaruhi oleh serapan pembelian yang tidak merata dikarenakan tidak adanya batasan harga semen secara Nasional yang mengakibatkan pelaku usaha dengan sembarangan menjual semen dengan harga rugi mengingat target penjualan yang harus dipenuhi.</p> <p>Saran penulis adalah Pemerintah, melalui Menteri Perdagangan mengeluarkan peraturan yang mengatur rentang harga jual semen dengan mempertimbangkan biaya produksi para produsen. Dan dilakukan&nbsp; penentuan&nbsp; ambang&nbsp; batas&nbsp; oleh&nbsp; Pemerintah, KPPU dapat melakukan pengawasan yang lebih ketat dengan turun langsung ke lapangan secara rutin agar persaingan usaha melalui penjualan dengan harga rugi bisa di minimalisir.</p> mochammad saudi sylvia Copyright (c) 2024 Duta Hukum 2025-01-08 2025-01-08 1 2 94 105 GANTI RUGI AKIBAT PERBUATAN MELANGGAR HUKUM DALAM KECELAKAAN LALU LINTAS (Studi Kasus Nomor 22/Pid.Sus/2021/PN.Pli) https://journal.univgresik.ac.id/index.php/dutahukum/article/view/251 <p>Dewasa ini sanksi ganti kerugian tidak hanya merupakan bagian dari hukum perdata, tetapi juga telah masuk ke dalam<br>hukum Pidana. Perkembangan ini terjadi karena semakin meningkatnya perhatian masyarakat dunia terhadap korban<br>tindak pidana, seperti korban kecelakaan lalu lintas. Penulis mengangkat dua permasalahan. yaitu: 1) Bagaiman<br>bentuk ganti rugi akibat perbuatan melanggar hukum dalam kecelakaan lalu lintas; dan 2) Apakah pertimbangan<br>hakim terhadap kecelakaan lalu lintas dalam Putusan Perkara Nomor 22/Pid.Sus/2021/PN.Pli sudah memenuhi unsur<br>keadilan. Penulis menggunakan metode penelitian hukum normatif dengan tiga metode pendekatan antara lain<br>pendekatan konseptual (conceptual approach), pendekatan perundang-undangan (statute approach), dan pendekatan<br>kasus (case approach). Hasil Penelitian menunjukkan bahwa pemberian ganti kerugian secara materil dan immateril<br>dalam Putusan Perkara Nomor 22/Pid.Sus/2021/PN.Pl yang dapat dimintakan jika korban kecelakan lalu lintas jalan<br>meninggal dunia karena perbuatan melanggar hukum maka suami/istri yang ditinggalkan, anak atau orang tua si<br>korban, yang lazimnya mendapat nafkah dari pekerjaan si korban, mempunyai hak menuntut suatu ganti rugi, yang<br>harus dinilai menurut kedudukan dan kekayaan kedua belah pihak, serta menurut keadaan sebagaimana penjelasan<br>Pasal 1370 KUHPerdata</p> Kresna Yudha Pati zakiah Copyright (c) 2024 Duta Hukum 2025-01-16 2025-01-16 1 2 1 11 PERTANGGUNG JAWABAN HUKUM PEMAKAIAN MEREK DAGANG YANG PERSIS PADA POKOKNYA DITINJAU DARI UNDANG-UNDANG NOMOR 20 TAHUN 2016 TENTANG MEREK DAN INDIKASI GEOGRAFIS (STUDI KASUS PUTUSAN NOMOR: 22 PK/Pdt.Sus-HKI/2022) https://journal.univgresik.ac.id/index.php/dutahukum/article/view/220 <p><strong>A</strong><strong>bstrak</strong></p> <p>&nbsp;&nbsp;&nbsp;&nbsp;&nbsp; Fungsi daya pembeda adalah untuk mengetahui apakah ada persamaan pada pokoknya dengan merek lain. Penjelasan Pasal&nbsp; 21&nbsp; ayat&nbsp; (1) Undang-Undang&nbsp; Nomor&nbsp; 20&nbsp; Tahun&nbsp; 2016&nbsp; tentang Merek dan Indikasi Geografis menerangkan bahwa&nbsp; ‘persamaan&nbsp; pada&nbsp; pokoknya’&nbsp; adalah&nbsp; kemiripan&nbsp; yang&nbsp; diakibatkan&nbsp; karena&nbsp; unsur yang dominan pada merek., rumusan masalah penelitian ini adalah: Bagaimana penyelesaian sengketa merek penggunaan kata “Strong” antara Formula dengan Pepsodent dan Bagaimana pertimbangan majelis hakim dalam memutuskan perkara Nomor: 22 PK/Pdt.Sus-HKI/2022.</p> <p>Jenis penelitian ini adalah penelitian normatif, dimana pendekatan terhadap permasalahan dengan mengkaji ketentuan perundangan-undangan, konseptual dan kasus. Kesimpulan yang didapat yaitu Penyelesaian perkara merek “Strong” berdasarkan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2016 tentang Merek dan Indikasi Geografis yaitu dilakukan secara perdata dengan mengajukan gugatan ganti rugi ke pengadilan niaga.&nbsp; Bahwa<strong>:</strong> a. kata Strong &nbsp;bukanlah kata temuan Penggugat dan kata tersebut mengandung arti “kuat” atau merupakan kata keterangan; b. fakta hukum bahwa kata “Strong” yang ada pada merek Tergugat adalah kata keterangan pada merek Pepsodent milik Tergugat.</p> <p>Saran penulis adalah Perlunya Untuk lebih meningkatkan pelindungan terhadap merek, maka diharapkan adanya perubahan terhadap Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2016 tentang Merek dan Indikasi Geografis dengan menambahkan beberapa pasal penjelasan terkait penyelesaian perkara merek.</p> Dina Agusti Rahayu Rizki Kurniawan Copyright (c) 2025 Duta Hukum 2025-01-08 2025-01-08 1 2 12 26 TINDAK PIDANA KEKERASAN DALAM HUBUNGAN SEKSUAL BAGI SUAMI TERHADAP ISTRI DITINJAU DARI PASAL 8 HURUF A UNDANG-UNDANG NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA https://journal.univgresik.ac.id/index.php/dutahukum/article/view/225 <p>Kekerasan dalam rumah tangga dapat berupa kekerasan fisik, psikologis, seksual dan ekonomi. Aktivitas seksual yang dilakukan suami terhadap istri dengan tidak memperhatikan hak istri maupun keadaan istri yang tidak memungkinkan untuk bisa melayani suami sebagaimana mestinya juga dapat disebut sebagai pemaksaan., rumusan masalah penelitian ini adalah : Apakah tindakan pemaksaan suami terhadap istri untuk melakukan hubungan badan termasuk dalam rumusan Pasal 8 huruf a Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga. Bagaimana perlindungan hukum bagi istri atas tindakan pemaksaan hubungan badan oleh suami.</p> <p>Jenis penelitian ini adalah penelitian normatif, dimana pendekatan terhadap permasalahan dengan mengkaji ketentuan perundangan-undangan, konseptual dan kasus. Kesimpulan yang didapat yaitu Kekerasan seksual dalam rumah tangga&nbsp; adalah hubungan seksual antara pasangan suami istri yang dilakukan dengan kekerasan, paksaan, ancaman atau dengan cara-cara yang tidak diinginkan oleh pasangan. Perlindungan korban kekerasan yakni tahap <em>preventif</em> melalui perlindungan sementara dari kepolisian dan atau perlindungan pengadilan, penempatan korban pada “rumah aman,”.</p> <p>Saran penulis adalah Salah satu upaya mengurangi tindak kekerasan seksual dengan memberikan pemahaman gender yang baik dalam lingkup rumah tangga. Pemerintah melalui Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak di wilayah Pusat maupun daerah mengadakan pendidikan pra nikah terkait pasangan muda mudi yang akan menikah.</p> <p>&nbsp;</p> KHUSNUL KHAMIDAH UNIVERSITAS GRESIK Prihatin Effendi Copyright (c) 2024 Duta Hukum 2025-01-08 2025-01-08 1 2 27 40 TANGGUNGJAWABAN PIDANA PELAKU USAHA ATAS PEREDARAN SEDIAAN FARMASI BERUPA KOSMETIK TANPA IZIN EDAR BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NOMOR 17 TAHUN 2023 TENTANG KESEHATAN https://journal.univgresik.ac.id/index.php/dutahukum/article/view/238 <p>Ketentuan Pasal 1 angka 12 Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan menyebutkan : “Sediaan Farmasi adalah Obat, Bahan Obat, Obat Bahan AIam, termasuk bahan Obat Bahan Alam, kosmetik, suplemen kesehatan, dan obat kuat”., rumusan masalah penelitian ini adalah : Bagaimana&nbsp; tanggungjawab pelaku usaha dalam peredaran sediaan farmasi berupa kosmetik tanpa izin edar dan Bagaimana perlindungan hukum terhadap korban atas peredaran kosmetik tanpa izin edar menurut Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan. Jenis penelitian ini adalah penelitian normatif, dimana pendekatan terhadap permasalahan dengan mengkaji ketentuan perundangan-undangan, konseptual dan kasus.</p> <p>Kesimpulan yang didapat yaitu Bentuk tanggungjawab terhadap kejahatan peredaran kosmetik tanpa izin edar diancam dalam Pasal 435 Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan menyebutkan: “Setiap Orang yang memproduksi atau mengedarkan sediaan farmasi dan/ atau alat kesehatan yang tidak memenuhi standar dan/atau persyaratan keamanan, khasiat/ kemanfaatan. Perlindungan hukum terhadap korban peredaran sediaan farmasi berupa kosmetik adalah melalui pemberian restitusi, kompensansi, pelayanan media, dan bantuan hukum.&nbsp;&nbsp;</p> <p>Saran penulis adalah konsumen harus lebih berhati-hati dan bersikap kritis dalam membeli kosmetik, apakah barang tersebut sudah memiliki izin edar atau merupakan barang yang ilegal. Pelaku usaha dalam mengedarkan produk kosmetik harus memperhatikan izin edar yang sudah diatur oleh BPOM.Ketentuan Pasal 1 angka 12 Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan menyebutkan : “Sediaan Farmasi adalah Obat, Bahan Obat, Obat Bahan AIam, termasuk bahan Obat Bahan Alam, kosmetik, suplemen kesehatan, dan obat kuat”., rumusan masalah penelitian ini adalah : Bagaimana tanggungjawab pelaku usaha dalam peredaran sediaan farmasi berupa kosmetik tanpa izin edar dan Bagaimana perlindungan hukum terhadap korban atas peredaran kosmetik tanpa izin edar menurut Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan. Jenis penelitian ini adalah penelitian normatif, dimana pendekatan terhadap permasalahan dengan mengkaji ketentuan perundangan-undangan, konseptual dan kasus.<br>Kesimpulan yang didapat yaitu Bentuk tanggungjawab terhadap kejahatan peredaran kosmetik tanpa izin edar diancam dalam Pasal 435 Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan menyebutkan: “Setiap Orang yang memproduksi atau mengedarkan sediaan farmasi dan/ atau alat kesehatan yang tidak memenuhi standar dan/atau persyaratan keamanan, khasiat/ kemanfaatan. Perlindungan hukum terhadap korban peredaran sediaan farmasi berupa kosmetik adalah melalui pemberian restitusi, kompensansi, pelayanan media, dan bantuan hukum. <br>Saran penulis adalah konsumen harus lebih berhati-hati dan bersikap kritis dalam membeli kosmetik, apakah barang tersebut sudah memiliki izin edar atau merupakan barang yang ilegal. Pelaku usaha dalam mengedarkan produk kosmetik harus memperhatikan izin edar yang sudah diatur oleh BPOM.</p> Anita Juliana Suyanto Copyright (c) 2024 Duta Hukum 2025-01-08 2025-01-08 1 2 41 52