Duta Hukum https://journal.univgresik.ac.id/index.php/dutahukum <p>Jurnal penelitian bidang hukum fakultas hukum universitas Gresik adalah wadah publikasi online skripsi Mahasiswa dan Dosen khusus keilmuwan di bidang hukum</p> <p>1. Hukum Tata Negara</p> <p>2. Hukum Pidana</p> <p>3. Hukum Perdata</p> <p>4. Hukum Administrasi Negara</p> <p>5. Hukum Pajak</p> <p>6. Hukum Perbankan dan yang lainya.</p> <p>yang 2 kali terbit dalam setahun yakni <strong>Mei dan November</strong> </p> Fakultas Hukum Universitas Gresik en-US Duta Hukum 3090-3483 AKIBAT HUKUM PENDAFTARAN TANAH PERTANIAN YANG MELEBIHI BATAS MAKSIMUM https://journal.univgresik.ac.id/index.php/dutahukum/article/view/454 <p>Maksud dari larangan pemilikan tanah secara absentee ini adalah agar petani bisa aktif dan efektif dalam mengerjakan<br>tanah pertanian miliknya, sehingga produktifitasnya bisa tinggi dan melenyapkan pegumpulan tanah di tangan<br>segelintir tanah-tuan tanah. Penulis mengangkat dua permasalahan. yaitu: 1) Bagaimana kedudukan surat pernyataan<br>akan pindah sebagai salah satu dokumen pendukung dalam peralihan hak atas tanah pertanian yang melebihi batas<br>maksimum menurut hukum positif; dan 2) Bagaimana akibat hukum dari pendaftaran tanah pertanian yang melebihi<br>batas maksimum. Penulis menggunakan metode penelitian hukum normatif dengan tiga metode pendekatan antara<br>lain pendekatan konseptual, pendekatan perundang-undangan, dan pendekatan komparatif. Hasil penelitian bahwa<br>pendaftaran tanah pertanian yang melebihi batas maksimum dapat menimbulkan beberapa akibat hukum, diantaranya<br>: 1) Pembatalan Pendaftaran: Jika ditemukan bahwa tanah pertanian yang didaftarkan melebihi batas maksimum yang<br>diizinkan oleh peraturan, maka pendaftaran tanah tersebut dapat dibatalkan oleh pihak berwenang; 2) Pengambilalihan<br>Tanah oleh Negara: Pemerintah dapat mengambil alih tanah yang melebihi batas maksimum untuk didistribusikan<br>kembali kepada petani atau pihak lain yang berhak. Hal ini sesuai dengan ketentuan dalam Undang-Undang Pokok<br>Agraria (UUPA); 3) Sanksi Administratif: Pemilik tanah yang melanggar batas maksimum kepemilikan tanah<br>pertanian dapat dikenai sanksi administratif, seperti denda atau kewajiban untuk membagi tanah tersebut kepada pihak<br>lain; dan 4) Pembatalan Sertifikat Tanah: Sertifikat tanah yang telah diterbitkan untuk tanah yang melebihi batas<br>maksimum dapat dibatalkan oleh Badan Pertanahan Nasional (BPN); dan 5) Tuntutan Hukum: Pihak yang merasa<br>dirugikan oleh pelanggaran ini dapat mengajukan tuntutan hukum terhadap pemilik tanah yang melebihi batas<br>maksimum. Pemerintah melalui Badan Pertanahan Nasional (BPN) hendakny</p> LPPM FAKULTAS HUKUM yati Copyright (c) 2025 Duta Hukum 2025-05-06 2025-05-06 2 1 21 34 KEDUDUKAN PERMA NOMOR 1 TAHUN 2022 TERHADAP PASAL 38 UNDANG UNDANG NOMOR 12 TAHUN 2022 https://journal.univgresik.ac.id/index.php/dutahukum/article/view/325 <p>Diperlukan perangkat hukum baru yang lebih komprehensif demi memberikan penegakan hukum yang dapat memenuhi rasa keadilan di masyarakat. Kehadiran Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual memberikan terobosan baru dalam penegakan hukum yang ada di Indonesia karena dalam undang-undang ini memberikan makna yang lebih luas tentang kekerasan seksual termasuk didalamnya mengatur tentang pemberian hak atas restitusi yang diperlukan untuk pemulihan korban/<em>Restitutio in integrum</em> terhadap korban dan keluarganya yang selama ini lepas dari perhatian ketika proses penegakan hukum. Adapun Peraturan teknis pelaksanaan tentang tata cara pemberian restitusi diatur dalam Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2022. Tentang Tata Cara Penyelesaian Permohonan dan Pemberian Restitusi dan Kompensasi kepada Korban Tindak Pidana. Tulisan ini akan mengkaji secara normatif tentang keadilan, kepastian dan kemanfaatan hukum dari Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 dan kedudukan Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2022 terhadap Pasal 38 undang-undang tersebut.</p> LILIK ROCHMAH yati Copyright (c) 2025 Duta Hukum 2025-05-26 2025-05-26 2 1 1 20 PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP DOKTER DALAM PELAKSANAAN KEBIRI KIMIA DITINJAU DARI PASAL 11 TENTANG KODE ETIK KEDOKTERAN TAHUN 2012 https://journal.univgresik.ac.id/index.php/dutahukum/article/view/315 <p><span style="text-decoration: underline;">Kebiri yang dikenal dengan kastrasi merupakan tindakan bedah dan penggunaan bahan<br>kimia dengan tujuan menghilangkan fungsi testis pada pria. Kode Etik Kedokteran telah<br>mengatur bahwa seorang dokter harus menjadi pelindung kehidupan. Maka rumusan masalah<br>yang akan dibahas dalam penelitian ini, yaitu Apakah pelaksanaan eksekusi kebiri kimia<br>bertentangan dengan Pasal 11 kode etik kedokteran Tahun 2012 dan Bagaimana perlindungan<br>hukum untuk dokter yang melaksanakan eksekusi kebiri kimia.<br>Dalam kesimpulan penulis Ikatan Dokter Indonesia (IDI) selaku badan yang dimintai<br>sebagai pelaksanaan hukuman kebiri kimia secara tegas menolak permintaan oleh Kejaksaan<br>Negeri. Ikatan Dokter Indonesia sangat memegang teguh sumpah profesi yang dianut oleh<br>Kedokteran seluruh dunia. Secara eksplisit sumpah tersebut terdapat dalam Kode Etik<br>Kedokteran Indonesia (KODEKI) 2012 dan Peraturan Pemerintah No. 26 Tahun 1960 tentang<br>Lafal Sumpah Dokter.</span></p> Zainul Abidin yati Copyright (c) 2025 Duta Hukum 2025-05-06 2025-05-06 2 1 86 98 STATUS APARATUR PEMERINTAH DESA BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NOMOR 3 TAHUN 2024 TENTANG PERUBAHAN KEDUA ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 6 TAHUN 2014 TENTANG DESA https://journal.univgresik.ac.id/index.php/dutahukum/article/view/244 <p>Berdasarkan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa, status kepegawaian para aparatur pemerintah desa belum begitu jelas. Di dalam peraturan perundangan tersebut, tidak dijelaskan secara <em>eksplisit</em> perihal status kepegawaian dari para perangkat desa., rumusan masalah penelitian ini adalah : Bagaimana status hukum aparatur pemerintah desa dan Bagaimana perlindungan hukum terhadap aparatur pemerintah desa. Jenis penelitian ini adalah penelitian normatif, dimana pendekatan terhadap permasalahan dengan mengkaji ketentuan perundangan-undangan, konseptual dan sejarah.</p> <p>Kesimpulan yang didapat yaitu Aparatur Pemerintah Desa tidak termasuk dalam Pegawai Negeri Sipil (PNS) maupun Pegawai Pemerintah Dengan Perjanjian Kerja (PPPK), namun termasuk Pegawai yang diangkat oleh Kepala Desa atas rekomendasi Camat atas nama Bupati. Kedudukan Aparatur Pemerintah Desa yaitu sebagai pembantu Kepala Desa dalam penyelenggaraan pemerintah yang tunduk pada otonomi desa menjadikan Aparatur Pemerintah Desa tidak memiliki status kepegawaian. Tidak adanya status kepegawain merupakan bentuk pengembalian hakikat desa sebagai pemangku otonomi asli, bulat, dan utuh.</p> <p>Saran penulis adalah Hendaknya dalam Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa perlu juga mengatur keberadaan Aparatur Pemerintah Desa sebagai bagian dari Sub Pemerintahan Nasional. Karena Aparatur Pemerintah Desa melaksanakan administrasi, juga sebagai Sub Pemerintahan selain Pemerintahan Pusat dan Pemerintahan Daerah.</p> Rizki Puji Nur Wahyudi yati Copyright (c) 2025 Duta Hukum 2025-05-06 2025-05-06 2 1 60 73 PERTANGGUNGJAWABAN HUKUM BAGI PELAKU TINDAK PIDANA LOVE SCAMMING DALAM DUNIA MAYA https://journal.univgresik.ac.id/index.php/dutahukum/article/view/456 <p>Tindak pidana love scamming marak terjadi karena akses yang begitu mudah untuk para pelaku dalam melakukan<br>tindak pidana love scamming dan mudahnya rasa percaya korban terhadap pelaku dengan rayuan asmara yang<br>dikeluarkan oleh pelaku kejahatan love scamming. Penulis mengangkat dua permasalahan. yaitu: 1) Bagaimana<br>pengaturan hukum terkait tindak pidana love scamming di Indonesia; dan 2) Bagaimana pertanggungjawaban hukum<br>bagi pelaku kejahatan love scamming berdasarkan hukum pidana di Indonesia. Penulis menggunakan metode<br>penelitian hukum normatif dengan tiga metode pendekatan antara lain pendekatan konseptual, pendekatan perundangundangan dan pendekatan historis. Hasil Penelitian bahwa pertanggungjawaban pelaku love scamming bahwa dalam<br>praktik penipuan online dalam transaksi elektronik, secara interprestasi hukumnya dapat dijerat dengan ketentuan<br>dalam Pasal 35 sehubungan dengan Pasal 51 ayat (1) Undang-Undang Informasi Elektronik, dimana pelaku dapat<br>dikenakan hukuman penjara maksimal 12 (dua belas) tahun dan/atau denda hingga Rp.12.000.000.000 (dua belas<br>miliar rupiah). Namun dikarenakan tindak pidana love scamming sendiri merupakan kejahatan-kejahatan yang bersifat<br>dunia maya sehingga pelaku tidak diketahui keberadaannya, seharusnya pemerintah lebih mengedepankan upayah<br>pencegahannya bukan hanya pada penghukuman dan pertanggungjawaban pidananya, sehingga kejahatan love<br>scamming bisa tercegah dan teratasi.</p> LPPM FAKULTAS HUKUM yati Copyright (c) 2025 Duta Hukum 2025-05-06 2025-05-06 2 1 48 59 BATASAN KEWENANGAN PENYIDIK KEPOLISIAN DALAM KAITAN TERHADAP TERJADINYA SALAH PENANGKAPAN ATAU ERROR IN PERSONA https://journal.univgresik.ac.id/index.php/dutahukum/article/view/453 <p>Salah dalam penangkapan, yang disebut sebagai “error in persona”, telah mengakibatkan sejumlah pelanggaran hak<br>asasi manusia yang dilakukan oleh penyidik ketika mereka sedang dalam proses menangkap seseorang yang dianggap<br>bersalah. Penulis mengangkat dua permasalahan. yaitu: 1). Bagaimana batasan kewenangan penyidik kepolisian<br>dalam proses penangkapan dalam Kitab Undang-Undang Acara Pidana (KUHAP) di Indonesia; 2) Bagaimana bentuk<br>pertanggungjawaban penyidik kepolisian terhadap terjadinya salah penangkapan atau error in persona berdasarkan<br>hukum positif di Indonesia. Penulis menggunakan metode penelitian hukum normatif dengan 3 (tiga) metode<br>pendekatan antara lain pendekatan konseptual (conceptual approach), pendekatan perundang-undangan (statute<br>approach), dan pendekatan kasus (case approach). Hasil Penelitian ini bahwa batasan kewenangan penyidik<br>kepolisian dalam proses penangkapan dalam Kitab Undang-Undang Acara Pidana (KUHAP) memang tidak diatur<br>secara jelas namun penyidik kepolisian tidak secara serta-merta dapat melakukan kegiatan penyidikan dengan<br>semaunya, melainkan ada juga batasan-batasan yang harus diikuti oleh penyidik tersebut agar tidak melanggar Hak<br>Asasi Manusia (HAM) mengingat kekuasaan penyidik dalam melakukan rangkaian tindakan tersebut terlampau besar.<br>Batasan-batasan kegiatan penyidik tersebut terdapat pada Pasal 13 ayat (1) Peraturan Kepala Kepolisian Negara<br>Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2009 tentang Implementasi Prinsip Dan Standar Hak Asasi Manusia Dalam<br>Penyelenggaraan Tugas Kepolisan Republik Indonesia</p> yati LPPM FAKULTAS HUKUM Copyright (c) 2025 Duta Hukum 2025-05-20 2025-05-20 2 1 35 47 Naufal Izza Arifin PERALIHAN HAK ATAS TANAH WARISAN TANPA PERSETUJUAN AHLI WARIS https://journal.univgresik.ac.id/index.php/dutahukum/article/view/316 <p>PERALIHAN HAK ATAS TANAH WARISAN TANPA PERSETUJUAN AHLI<br>WARIS<br>Naufal Izza Arifin<br>Prodi Ilmu Hukum, Fakultas Hukum, Universitas Gresik<br>Dalam prakteknya, sering ditemukan suatu pelanggaran terhadap peralihan<br>hak atas tanah yang sebenarnya telah dilindungi oleh ketentuan dalam peraturan<br>hukum positif Indonesia sehingga merugikan pihak tertentu salah satunya ahli<br>waris yang berhak. Penulis mengangkat dua permasalahan. yaitu: 1) Bagaimana<br>keabsahan peralihan hak atas tanah waris melalui jual beli tanpa persetujuan ahli<br>waris yang lain; dan 2) Bagaimana akibat hukum mengenai peralihan hak atas<br>tanah warisan melalui jual beli tanpa persetujuan ahli waris yang lain.<br>Dalam penelitan ini, penulis menggunakan metode penelitian hukum<br>normatif dengan tiga metode pendekatan antara lain pendekatan konseptual<br>(conceptual approach), pendekatan perundang-undangan (statute approach), dan<br>pendekatan kasus (case approach).<br>Hasil Penelitian menunjukkan bahwa peralihan hak tanah waris melalu<br>jual-beli tersebut secara tidak langsung cacat hukum, dan pihak yang dirugikan<br>dapat meminta pembatalan kepada Kepala Kantor Pertanahan, sebagaimana<br>ketentuan Pasal 1 angka 12 Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala BPN<br>Nomor 3 Tahun 1999 tentang Pelimpahan Kewenangan Pemberian dan<br>Pembatalan Keputusan Pemberian Hak Atas Tanah bahwa pembatalan sertifikat<br>tanah yang dikonkritkan dengan membatalkan keputusan Kantor Pertanahan jika<br>ditemukan adanya cacat hukum, dengan diterbitkannya Berita Acara Pembatalan,<br>yang mana Berita Acara Pembatalan tersebut merupakan diskresi dari kepala<br>kantor pertanahan sendiri, dikarenakan tidak adanya aturan dan batasan yang<br>secara jelas dalam proses pembatalan oleh kepala kantor pertanahan tersebut<br>sehingga menyebabkan ketidakpastian hukum.</p> Naufal Izza Arifin yati Copyright (c) 2025 Duta Hukum 2025-05-06 2025-05-06 2 1 99 111 The BATASAN PRESIDEN DALAM PEMBERIAN GRASI KEPADA TERPIDANA KEKERASAN SEKSUAL TERHADAP ANAK https://journal.univgresik.ac.id/index.php/dutahukum/article/view/249 <p>Pemberian grasi kepada terpidana kekerasan seksual terhadap anak dianggap melukai rasa keadilan masyarakat dan dinilai tidak konsisten semangat pemerintah dalam melindungi anak-anak dari kejahatan seksual. Dan juga bertentangan dalam penjelasan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2016 tentang Perlindungan Anak menyebutkan bahwa kejahatan seksual itu merupakan kejahatan yang serius atau serious crime. Penulis mengangkat dua permasalahan. yaitu: 1). Bagaimana kedudukan Kepres Nomor 13/G 2019 terhadap Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2016 tentang Perlindungan Anak; dan 2) Bagaimana batasan presiden dalam pemberian grasi kepada terpidana kekerasan seksual terhadap anak. Penulis menggunakan metode penelitian hukum normatif dengan tiga metode pendekatan antara lain pendekatan konseptual (conceptual approach), pendekatan perundang-undangan (statute approach), dan pendekatan kasus (case approach). Hasil Penelitian menunjukkan bahwa keputusan presiden dalam pemberian grasi merupakan hak prerogatif presiden sebagaimana ketentuan dalam Pasal 14 ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945. Namun dengan memberikan grasi terhadap terpidana kasus kekerasan seksual terhadap anak menyebabkan adanya konflik norma terhadap Undang-Undang Perlindungan Anak, dimana terdapat ketidak selarasan antara norma yang lebih tinggi dengan yang lebih renda sesuai dengan urutan hierarki peraturan perundang-undangan. Terlebih lagi pemberian grasi kepada terpidana kasus seksual terhadap anak merupakan isu yang sangat sensitif dan kompleks.</p> <p>&nbsp;</p> Wildan Vika yati Copyright (c) 2025 Duta Hukum 2025-05-25 2025-05-25 2 1 74 85