https://journal.univgresik.ac.id/index.php/dutahukum/issue/feed Duta Hukum 2025-05-29T20:51:07+07:00 Yati Vitria, S.H., M.H yativitria31@gmail.com Open Journal Systems <p>Jurnal penelitian bidang hukum fakultas hukum universitas Gresik adalah wadah publikasi online skripsi Mahasiswa dan Dosen khusus keilmuwan di bidang hukum</p> <p>1. Hukum Tata Negara</p> <p>2. Hukum Pidana</p> <p>3. Hukum Perdata</p> <p>4. Hukum Administrasi Negara</p> <p>5. Hukum Pajak</p> <p>6. Hukum Perbankan dan yang lainya.</p> <p>yang 2 kali terbit dalam setahun yakni <strong>Mei dan November</strong> </p> https://journal.univgresik.ac.id/index.php/dutahukum/article/view/325 KEDUDUKAN PERMA NOMOR 1 TAHUN 2022 TERHADAP PASAL 38 UNDANG UNDANG NOMOR 12 TAHUN 2022 2025-05-26T15:06:50+07:00 LILIK ROCHMAH advlilik3105@gmail.com yati suyanto@unigres.ac.id <p>Diperlukan perangkat hukum baru yang lebih komprehensif demi memberikan penegakan hukum yang dapat memenuhi rasa keadilan di masyarakat. Kehadiran Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual memberikan terobosan baru dalam penegakan hukum yang ada di Indonesia karena dalam undang-undang ini memberikan makna yang lebih luas tentang kekerasan seksual termasuk didalamnya mengatur tentang pemberian hak atas restitusi yang diperlukan untuk pemulihan korban/<em>Restitutio in integrum</em> terhadap korban dan keluarganya yang selama ini lepas dari perhatian ketika proses penegakan hukum. Adapun Peraturan teknis pelaksanaan tentang tata cara pemberian restitusi diatur dalam Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2022. Tentang Tata Cara Penyelesaian Permohonan dan Pemberian Restitusi dan Kompensasi kepada Korban Tindak Pidana. Tulisan ini akan mengkaji secara normatif tentang keadilan, kepastian dan kemanfaatan hukum dari Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 dan kedudukan Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2022 terhadap Pasal 38 undang-undang tersebut.</p> 2025-05-26T00:00:00+07:00 Copyright (c) 2025 Duta Hukum https://journal.univgresik.ac.id/index.php/dutahukum/article/view/454 AKIBAT HUKUM PENDAFTARAN TANAH PERTANIAN YANG MELEBIHI BATAS MAKSIMUM 2025-05-29T11:06:47+07:00 LPPM FAKULTAS HUKUM dwiwachidiyah24@gmail.com yati admin@gmail.com <p>Maksud dari larangan pemilikan tanah secara absentee ini adalah agar petani bisa aktif dan efektif dalam mengerjakan<br>tanah pertanian miliknya, sehingga produktifitasnya bisa tinggi dan melenyapkan pegumpulan tanah di tangan<br>segelintir tanah-tuan tanah. Penulis mengangkat dua permasalahan. yaitu: 1) Bagaimana kedudukan surat pernyataan<br>akan pindah sebagai salah satu dokumen pendukung dalam peralihan hak atas tanah pertanian yang melebihi batas<br>maksimum menurut hukum positif; dan 2) Bagaimana akibat hukum dari pendaftaran tanah pertanian yang melebihi<br>batas maksimum. Penulis menggunakan metode penelitian hukum normatif dengan tiga metode pendekatan antara<br>lain pendekatan konseptual, pendekatan perundang-undangan, dan pendekatan komparatif. Hasil penelitian bahwa<br>pendaftaran tanah pertanian yang melebihi batas maksimum dapat menimbulkan beberapa akibat hukum, diantaranya<br>: 1) Pembatalan Pendaftaran: Jika ditemukan bahwa tanah pertanian yang didaftarkan melebihi batas maksimum yang<br>diizinkan oleh peraturan, maka pendaftaran tanah tersebut dapat dibatalkan oleh pihak berwenang; 2) Pengambilalihan<br>Tanah oleh Negara: Pemerintah dapat mengambil alih tanah yang melebihi batas maksimum untuk didistribusikan<br>kembali kepada petani atau pihak lain yang berhak. Hal ini sesuai dengan ketentuan dalam Undang-Undang Pokok<br>Agraria (UUPA); 3) Sanksi Administratif: Pemilik tanah yang melanggar batas maksimum kepemilikan tanah<br>pertanian dapat dikenai sanksi administratif, seperti denda atau kewajiban untuk membagi tanah tersebut kepada pihak<br>lain; dan 4) Pembatalan Sertifikat Tanah: Sertifikat tanah yang telah diterbitkan untuk tanah yang melebihi batas<br>maksimum dapat dibatalkan oleh Badan Pertanahan Nasional (BPN); dan 5) Tuntutan Hukum: Pihak yang merasa<br>dirugikan oleh pelanggaran ini dapat mengajukan tuntutan hukum terhadap pemilik tanah yang melebihi batas<br>maksimum. Pemerintah melalui Badan Pertanahan Nasional (BPN) hendakny</p> 2025-05-06T00:00:00+07:00 Copyright (c) 2025 Duta Hukum https://journal.univgresik.ac.id/index.php/dutahukum/article/view/453 BATASAN KEWENANGAN PENYIDIK KEPOLISIAN DALAM KAITAN TERHADAP TERJADINYA SALAH PENANGKAPAN ATAU ERROR IN PERSONA 2025-05-29T11:07:39+07:00 yati admin@gmail.com LPPM FAKULTAS HUKUM dwiwachidiyah24@gmail.com <p>Salah dalam penangkapan, yang disebut sebagai “error in persona”, telah mengakibatkan sejumlah pelanggaran hak<br>asasi manusia yang dilakukan oleh penyidik ketika mereka sedang dalam proses menangkap seseorang yang dianggap<br>bersalah. Penulis mengangkat dua permasalahan. yaitu: 1). Bagaimana batasan kewenangan penyidik kepolisian<br>dalam proses penangkapan dalam Kitab Undang-Undang Acara Pidana (KUHAP) di Indonesia; 2) Bagaimana bentuk<br>pertanggungjawaban penyidik kepolisian terhadap terjadinya salah penangkapan atau error in persona berdasarkan<br>hukum positif di Indonesia. Penulis menggunakan metode penelitian hukum normatif dengan 3 (tiga) metode<br>pendekatan antara lain pendekatan konseptual (conceptual approach), pendekatan perundang-undangan (statute<br>approach), dan pendekatan kasus (case approach). Hasil Penelitian ini bahwa batasan kewenangan penyidik<br>kepolisian dalam proses penangkapan dalam Kitab Undang-Undang Acara Pidana (KUHAP) memang tidak diatur<br>secara jelas namun penyidik kepolisian tidak secara serta-merta dapat melakukan kegiatan penyidikan dengan<br>semaunya, melainkan ada juga batasan-batasan yang harus diikuti oleh penyidik tersebut agar tidak melanggar Hak<br>Asasi Manusia (HAM) mengingat kekuasaan penyidik dalam melakukan rangkaian tindakan tersebut terlampau besar.<br>Batasan-batasan kegiatan penyidik tersebut terdapat pada Pasal 13 ayat (1) Peraturan Kepala Kepolisian Negara<br>Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2009 tentang Implementasi Prinsip Dan Standar Hak Asasi Manusia Dalam<br>Penyelenggaraan Tugas Kepolisan Republik Indonesia</p> 2025-05-20T00:00:00+07:00 Copyright (c) 2025 Duta Hukum https://journal.univgresik.ac.id/index.php/dutahukum/article/view/456 PERTANGGUNGJAWABAN HUKUM BAGI PELAKU LOVE SCAMMING DALAM DUNIA MAYA 2025-05-29T11:04:51+07:00 LPPM FAKULTAS HUKUM dwiwachidiyah24@gmail.com yati admin@gmail.com <p>Tindak pidana love scamming marak terjadi karena akses yang begitu mudah untuk para pelaku dalam melakukan<br>tindak pidana love scamming dan mudahnya rasa percaya korban terhadap pelaku dengan rayuan asmara yang<br>dikeluarkan oleh pelaku kejahatan love scamming. Penulis mengangkat dua permasalahan. yaitu: 1) Bagaimana<br>pengaturan hukum terkait tindak pidana love scamming di Indonesia; dan 2) Bagaimana pertanggungjawaban hukum<br>bagi pelaku kejahatan love scamming berdasarkan hukum pidana di Indonesia. Penulis menggunakan metode<br>penelitian hukum normatif dengan tiga metode pendekatan antara lain pendekatan konseptual, pendekatan perundangundangan dan pendekatan historis. Hasil Penelitian bahwa pertanggungjawaban pelaku love scamming bahwa dalam<br>praktik penipuan online dalam transaksi elektronik, secara interprestasi hukumnya dapat dijerat dengan ketentuan<br>dalam Pasal 35 sehubungan dengan Pasal 51 ayat (1) Undang-Undang Informasi Elektronik, dimana pelaku dapat<br>dikenakan hukuman penjara maksimal 12 (dua belas) tahun dan/atau denda hingga Rp.12.000.000.000 (dua belas<br>miliar rupiah). Namun dikarenakan tindak pidana love scamming sendiri merupakan kejahatan-kejahatan yang bersifat<br>dunia maya sehingga pelaku tidak diketahui keberadaannya, seharusnya pemerintah lebih mengedepankan upayah<br>pencegahannya bukan hanya pada penghukuman dan pertanggungjawaban pidananya, sehingga kejahatan love<br>scamming bisa tercegah dan teratasi.</p> 2025-05-06T00:00:00+07:00 Copyright (c) 2025 Duta Hukum https://journal.univgresik.ac.id/index.php/dutahukum/article/view/244 STATUS APARATUR PEMERINTAH DESA BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NOMOR 3 TAHUN 2024 TENTANG PERUBAHAN KEDUA ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 6 TAHUN 2014 TENTANG DESA 2025-05-29T11:36:15+07:00 Rizki Puji Nur Wahyudi rizkipuji23@gmail.com yati admin@gmail.com <p>Berdasarkan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa, status kepegawaian para aparatur pemerintah desa belum begitu jelas. Di dalam peraturan perundangan tersebut, tidak dijelaskan secara <em>eksplisit</em> perihal status kepegawaian dari para perangkat desa., rumusan masalah penelitian ini adalah : Bagaimana status hukum aparatur pemerintah desa dan Bagaimana perlindungan hukum terhadap aparatur pemerintah desa. Jenis penelitian ini adalah penelitian normatif, dimana pendekatan terhadap permasalahan dengan mengkaji ketentuan perundangan-undangan, konseptual dan sejarah.</p> <p>Kesimpulan yang didapat yaitu Aparatur Pemerintah Desa tidak termasuk dalam Pegawai Negeri Sipil (PNS) maupun Pegawai Pemerintah Dengan Perjanjian Kerja (PPPK), namun termasuk Pegawai yang diangkat oleh Kepala Desa atas rekomendasi Camat atas nama Bupati. Kedudukan Aparatur Pemerintah Desa yaitu sebagai pembantu Kepala Desa dalam penyelenggaraan pemerintah yang tunduk pada otonomi desa menjadikan Aparatur Pemerintah Desa tidak memiliki status kepegawaian. Tidak adanya status kepegawain merupakan bentuk pengembalian hakikat desa sebagai pemangku otonomi asli, bulat, dan utuh.</p> <p>Saran penulis adalah Hendaknya dalam Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa perlu juga mengatur keberadaan Aparatur Pemerintah Desa sebagai bagian dari Sub Pemerintahan Nasional. Karena Aparatur Pemerintah Desa melaksanakan administrasi, juga sebagai Sub Pemerintahan selain Pemerintahan Pusat dan Pemerintahan Daerah.</p> 2025-05-06T00:00:00+07:00 Copyright (c) 2025 Duta Hukum https://journal.univgresik.ac.id/index.php/dutahukum/article/view/249 The BATASAN PRESIDEN DALAM PEMBERIAN GRASI KEPADA TERPIDANA KEKERASAN SEKSUAL TERHADAP ANAK 2025-05-29T20:51:07+07:00 Wildan Vika wildanjavier10@gmail.com yati admin@gmail.com <p>Pemberian grasi kepada terpidana kekerasan seksual terhadap anak dianggap melukai rasa keadilan masyarakat dan dinilai tidak konsisten semangat pemerintah dalam melindungi anak-anak dari kejahatan seksual. Dan juga bertentangan dalam penjelasan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2016 tentang Perlindungan Anak menyebutkan bahwa kejahatan seksual itu merupakan kejahatan yang serius atau serious crime. Penulis mengangkat dua permasalahan. yaitu: 1). Bagaimana kedudukan Kepres Nomor 13/G 2019 terhadap Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2016 tentang Perlindungan Anak; dan 2) Bagaimana batasan presiden dalam pemberian grasi kepada terpidana kekerasan seksual terhadap anak. Penulis menggunakan metode penelitian hukum normatif dengan tiga metode pendekatan antara lain pendekatan konseptual (conceptual approach), pendekatan perundang-undangan (statute approach), dan pendekatan kasus (case approach). Hasil Penelitian menunjukkan bahwa keputusan presiden dalam pemberian grasi merupakan hak prerogatif presiden sebagaimana ketentuan dalam Pasal 14 ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945. Namun dengan memberikan grasi terhadap terpidana kasus kekerasan seksual terhadap anak menyebabkan adanya konflik norma terhadap Undang-Undang Perlindungan Anak, dimana terdapat ketidak selarasan antara norma yang lebih tinggi dengan yang lebih renda sesuai dengan urutan hierarki peraturan perundang-undangan. Terlebih lagi pemberian grasi kepada terpidana kasus seksual terhadap anak merupakan isu yang sangat sensitif dan kompleks.</p> <p>&nbsp;</p> 2025-05-25T00:00:00+07:00 Copyright (c) 2025 Duta Hukum https://journal.univgresik.ac.id/index.php/dutahukum/article/view/315 PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP DOKTER DALAM PELAKSANAAN KEBIRI KIMIA DITINJAU DARI PASAL 11 TENTANG KODE ETIK KEDOKTERAN TAHUN 2012 2025-05-26T15:12:18+07:00 Zainul Abidin zainulabidin5343@gmail.com yati admin@gmail.com <p><span style="text-decoration: underline;">Kebiri yang dikenal dengan kastrasi merupakan tindakan bedah dan penggunaan bahan<br>kimia dengan tujuan menghilangkan fungsi testis pada pria. Kode Etik Kedokteran telah<br>mengatur bahwa seorang dokter harus menjadi pelindung kehidupan. Maka rumusan masalah<br>yang akan dibahas dalam penelitian ini, yaitu Apakah pelaksanaan eksekusi kebiri kimia<br>bertentangan dengan Pasal 11 kode etik kedokteran Tahun 2012 dan Bagaimana perlindungan<br>hukum untuk dokter yang melaksanakan eksekusi kebiri kimia.<br>Dalam kesimpulan penulis Ikatan Dokter Indonesia (IDI) selaku badan yang dimintai<br>sebagai pelaksanaan hukuman kebiri kimia secara tegas menolak permintaan oleh Kejaksaan<br>Negeri. Ikatan Dokter Indonesia sangat memegang teguh sumpah profesi yang dianut oleh<br>Kedokteran seluruh dunia. Secara eksplisit sumpah tersebut terdapat dalam Kode Etik<br>Kedokteran Indonesia (KODEKI) 2012 dan Peraturan Pemerintah No. 26 Tahun 1960 tentang<br>Lafal Sumpah Dokter.</span></p> 2025-05-06T00:00:00+07:00 Copyright (c) 2025 Duta Hukum https://journal.univgresik.ac.id/index.php/dutahukum/article/view/316 Naufal Izza Arifin PERALIHAN HAK ATAS TANAH WARISAN TANPA PERSETUJUAN AHLI WARIS 2025-05-26T15:10:16+07:00 Naufal Izza Arifin tutuptatap1@gmail.com yati darapuspitasari@unigres.ac.id <p>PERALIHAN HAK ATAS TANAH WARISAN TANPA PERSETUJUAN AHLI<br>WARIS<br>Naufal Izza Arifin<br>Prodi Ilmu Hukum, Fakultas Hukum, Universitas Gresik<br>Dalam prakteknya, sering ditemukan suatu pelanggaran terhadap peralihan<br>hak atas tanah yang sebenarnya telah dilindungi oleh ketentuan dalam peraturan<br>hukum positif Indonesia sehingga merugikan pihak tertentu salah satunya ahli<br>waris yang berhak. Penulis mengangkat dua permasalahan. yaitu: 1) Bagaimana<br>keabsahan peralihan hak atas tanah waris melalui jual beli tanpa persetujuan ahli<br>waris yang lain; dan 2) Bagaimana akibat hukum mengenai peralihan hak atas<br>tanah warisan melalui jual beli tanpa persetujuan ahli waris yang lain.<br>Dalam penelitan ini, penulis menggunakan metode penelitian hukum<br>normatif dengan tiga metode pendekatan antara lain pendekatan konseptual<br>(conceptual approach), pendekatan perundang-undangan (statute approach), dan<br>pendekatan kasus (case approach).<br>Hasil Penelitian menunjukkan bahwa peralihan hak tanah waris melalu<br>jual-beli tersebut secara tidak langsung cacat hukum, dan pihak yang dirugikan<br>dapat meminta pembatalan kepada Kepala Kantor Pertanahan, sebagaimana<br>ketentuan Pasal 1 angka 12 Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala BPN<br>Nomor 3 Tahun 1999 tentang Pelimpahan Kewenangan Pemberian dan<br>Pembatalan Keputusan Pemberian Hak Atas Tanah bahwa pembatalan sertifikat<br>tanah yang dikonkritkan dengan membatalkan keputusan Kantor Pertanahan jika<br>ditemukan adanya cacat hukum, dengan diterbitkannya Berita Acara Pembatalan,<br>yang mana Berita Acara Pembatalan tersebut merupakan diskresi dari kepala<br>kantor pertanahan sendiri, dikarenakan tidak adanya aturan dan batasan yang<br>secara jelas dalam proses pembatalan oleh kepala kantor pertanahan tersebut<br>sehingga menyebabkan ketidakpastian hukum.</p> 2025-05-06T00:00:00+07:00 Copyright (c) 2025 Duta Hukum https://journal.univgresik.ac.id/index.php/dutahukum/article/view/319 PERTANGGUNGJAWABAN PERS TERHADAP PUBLIKASI IDENTITAS ANAK YANG MENJADI KORBAN TINDAK PIDANA 2025-05-26T15:08:44+07:00 Muhammad Ridho Johansyah Idho idhobento00@gmail.com yati admin@gmail.com <p>Mengungkapkan identitas Anak Korban Tindak Pidana sangatlah berpengaruh kepada anak yang menjadi korban <br>tindak pidana. Memiliki sisi positif dan sisi negatif, jika dilihat dari sisi positif dengan adanya pemberitaan di media <br>online, masyarakat akan muncul rasa empati untuk tergerak membantu si korban. Namun dari sisi negatif pemberitaan <br>akan memperkuat label masyarakat terhadap anak tersebut bahwa anak itu sudah tidak baik lagi. Penulis mengangkat <br>dua permasalahan. yaitu: 1) Bagaimana ketentuan hukum yang dapat diterapkan terhadap pers yang mempublikasikan <br>identitas anak yang menjadi korban tindak pidana; dan 2) Bagaimana pertanggungjawaban pers terhadap publikasi <br>identitas anak yang menjadi korban tindak pidana. Penulis menggunakan metode penelitian hukum normatif dengan <br>tiga metode pendekatan antara lain pendekatan konseptual, pendekatan perundang-undangan dan pendekatan historis. <br>Hasil Penelitian menunjukkan bahwa pertanggungjawaban pers terhadap publikasi identitas anak yang menjadi <br>korban tindak pidana, bahwa pemberitaan identitas anak korban oleh pers telah diatur di dalam aturan perundangperundangan Seperti Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers, Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 <br>tantang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, Undang-Undang Nomor <br>11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak. Namun Pada kenyataannya sampai pada saat ini Perbuatan <br>Pers maupun oknum terhadap publikasi identitas anak korban tindak pidana masih terus bergulir dan juga tidak pernah <br>perbuatan pers dan oknum tersebut di pidana dikarenakan dewan pers memiliki kewenangan untuk <br>mempertimbangkan dan mengambil tindakan didasarkan pada laporan masyarakat sebagaimana diatur dalam Pasal <br>17 ayat (2) Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers menimbulkan ketidakpastian hukum.</p> 2025-05-06T00:00:00+07:00 Copyright (c) 2025 Duta Hukum https://journal.univgresik.ac.id/index.php/dutahukum/article/view/455 BATASAN PENGADAAN TANAH UNTUK KEPENTINGAN UMUM TERHADAP KAWASAN TATA RUANG YANG DILINDUNGI 2025-05-29T11:05:48+07:00 LPPM FAKULTAS HUKUM dwiwachidiyah24@gmail.com yati admin@gmail.com <p>Definisi kepentingan umum secara luas disebutkan dalam Pasal 18 Undang-Undang Pokok Agraria, namun dalam<br>Undang-Undang tersebut tidak definisikannya batasan kepentingan umum ini secara jelas, sehingga dalam aplikasinya<br>akan membawa dampak negatif terhadap pelanggaran hak-hak atas tanah masyarakat, terutama masyarakat yang<br>terkena dampak kegiatan pembangunan untuk kepentingan umum. Penulis mengangkat dua permasalahan. yaitu: 1)<br>Bagaimana pengaturan hukum tentang pengadaan tanah demi kepentingan umum di Indonesia; dan 2) Bagaimana<br>batasan pengadaan tanah untuk kepentingan umum terhadap kawasan tata ruang yang di lindungi. Penulis<br>menggunakan metode penelitian hukum normatif dengan tiga metode pendekatan antara lain pendekatan konseptual,<br>pendekatan perundang-undangan, dan pendekatan komparatif. Bahwa batasan pengadaan tanah demi kepentingan<br>umum terhadap kawasan tata ruang yang dilindungi, disimpulkan bahwa dalam hal ini terjadi “overlapping<br>regulations” atau konflik peraturan atau sering juga disebut tumpang tindihnya peraturan. Harusnya pemerintah dalam<br>pengadaan tanah tidak hanya memandang Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah Bagi<br>Pembangunan Untuk Kepentingan Umum, namun perlu juga memandang pentingnya Undang-Undang Nomor 26<br>Tahun 2007 tentang Tata Ruang, dikarenakan adanya Undang-Undang Tata Ruang bertujuan untuk memastikan<br>bahwa penggunaan lahan yang beragam, seperti pemukiman, industri, pertanian, dan konservasi, diatur dengan tepat<br>untuk mencapai tujuan pembangunan berkelanjutan, serta untuk melindungi lingkungan dengan mengatur dan<br>membatasi penggunaan lahan yang dapat mempengaruhi ekosistem dan lingkungan alam.</p> 2025-05-25T00:00:00+07:00 Copyright (c) 2025 Duta Hukum https://journal.univgresik.ac.id/index.php/dutahukum/article/view/253 PERTANGGUNGJAWABAN HUKUM TERHADAP PENGAKSESAN KARTU KREDIT TANPA HAK DENGAN SISTEM PERETASAN MELALUI WEBSITE DITINJAU DARI PASAL 32 AYAT (1) UNDANG-UNDANG NOMOR 19 TAHUN 2016 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 11 TAHUN 2008 TENTANG 2024-09-26T10:22:29+07:00 farid satriya Faridsatria88@gmail.com ika admin@gmail.com <p>Peretasan yang dilakukan dengan menjebol, melampaui atau menerobos sistem elektronik yang digunakan oleh pemerintah atau untuk informasi publik merupakan tindak pidana yang dilakukan untuk ketenaran maupun keisengan hacker., rumusan masalah penelitian ini adalah : Bagaimana sistem peretasan kartu kredit tanpa hak melalui <em>website</em> dan Bagaimana pertanggungjawaban hukum terhadap tindak pidana pengaksesan kartu kredit tanpa hak dengan sistem peretasan melalui <em>website.</em></p> <p>Jenis penelitian ini adalah penelitian normatif, dimana pendekatan terhadap permasalahan dengan mengkaji ketentuan perundangan-undangan, konseptual dan kasus. Kesimpulan yang didapat yaitu <em>Hacking </em>dirumuskan Pasal 32 ayat (1) Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi Dan Transaksi Elektronik. Dan menurut Pasal 48 ayat (1) Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi Dan Transaksi Elektronik menyebutkan : “Setiap Orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 8 (delapan) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 2.000.000.000,- (dua miliar rupiah)”.</p> <p>Saran penulis adalah Mengingat dampak yang ditimbulkan tindak pidana <em>hacking </em>sangat berbahaya bagi <em>privasi </em>seseorang maupun instansi atau lembaga hukum maka hendaknya pemilik situs atau <em>website</em> memberikan pengaman <em>software </em>komputer baik berupa penggunaan <em>firewall</em>.</p> 2025-05-25T00:00:00+07:00 Copyright (c) 2024 Duta Hukum